Kamis, 27 Maret 2008

Lagi, kontroversi soal penyebab lumpur

Tidak terasa, semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jatim, sudah hampir berlangsung dua tahun dan hingga saat ini belum ada tanda-tanda bakal berakhir.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), volume semburan lumpur konstan di kisaran 120.000-150.000 meter kubik, atau setara satu juta barel per hari. Jumlah yang dahsyat. Bisa dibayangkan jika semburan berlangsung hingga 30 tahun—sebagaimana diyakini sebagian ahli geologi.

Sejak munculnya semburan pada 29 Mei 2006, banyak ragam teori yang beredar di kalangan pakar geologi dan praktisi pemboran atau drilling. Tapi belakangan ada satu teori yang cenderung menjadi pendapat mayoritas para ahli geologi dan praktisi pemboran, yaitu bahwa semburan lumpur di Sidoarjo merupakan fenomena alam gunung lumpur (mud volcano).

Gunung lumpur sebenarnya bukan hal baru. Di Asia Tengah, semisal Ajerbaizan, fenomena alam gunung lumpur biasa terjadi, dan itu tidak selalu terkait dengan aktivitas pemboran migas.
Di Sidoarjo, ceritanya menjadi ‘heboh’ karena semburan lumpur akhirnya menggenangi sejumlah desa. Di sana ada manusia, ada kehidupan sosial ekonomi. Ada ribuan orang dirugikan dan membutuhkan respons cepat.

Dan, hingga kini, pemerintah belum juga menetapkan fenomena semburan lumpur Sidoarjo itu sebagai bencana nasional, meski fakta-fakta yang terungkap dan pendapat para ahli semakin menguatkan hipotesa bahwa peristiwa itu merupakan fenomena alam, atau sulit dibuktikan kaitannya dengan pemboran sumur gas yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. di sumur Banjarpanji-1.


Setidaknya hal itulah yang mencuat dalam seminar bertajuk Mencari Solusi Lumpur Sidoarjo yang digelar di Surabaya, 28 Februari lalu. Seminar yang melibatkan kalangan geologist dan praktisi pemboran itu, kembali diwarnai pro-kontra. Tajam, bahkan.


Sukendar Asikin, pakar geologi ITB, misalnya, berpendapat gempa tektonik Yogyakarta 27 Mei 2006 yang berkekuatan 5,9 pada Skala Ritcher telah mengaktivasi patahan-patahan lama yang ada di kawasan Porong, Sidoarjo, dan mungkin juga menciptakan patahan-patahan baru. Melalui patahan-patahan inilah lumpur bertekanan tinggi menyembul keluar.

“Saya tidak pernah mengatakan bahwa gempa Yogya penyebab langsung terjadinya semburan lumpur Sidoarjo. Tapi penyebab tidak langsung, sangat mungkin. Karena kawasan itu memang memiliki potensi mud volcano sejak lama, dan mud volcano merupakan peristiwa geologi biasa, bagian dari perubahan bumi yang terus berubah setiap saat,” katanya.

Berbeda dengan Sukendar, ahli geologi lainnya, R.P.Koesoemadinata cenderung berpendapat ada kemungkinan semburan lumpur Porong berhubungan dengan aktivitas pemboran Banjarpanji-1 milik Lapindo.

”Memang saya tidak bisa membuktikan. Tapi faktanya Lapindo Inc tidak memasang casing pada kedalaman tertentu, sehingga formasi di sekitar sumur pecah saat terjadi loss and kick dan itu menjadi jalan keluarnya Lumpur,” kata Koesoemadinata.

Geolog Rudi Rubiandini, seperti keyakinannya selama ini, tetap yakin bahwa semburan lumpur merupakan fenomena underground blow out, yaitu kondisi tidak terkendalinya tekanan fluida dari formasi yang masuk ke dalam sumur dan menjadikan sumur sebagai saluran keluarnya lumpur.

Lumpur naik dari dasar yang kemudian mencari titik terlemah dari dinding sumur, yakni di bagian kaki casing (casing shoe) sehingga bagian ini pecah dan menjadi jalan keluarnya lumpur.

Karena keyakinannya pada hipotesa tersebut, Rudi Rubiandini mendesak agar segera dilakukan penutupan semburan dengan metode relief well (metode umum untuk membunuh sumur saat terjadi underground blow out).
Meski akhirnya juga nampak inkonsistensi di bagian akhir presentasi Rudy, karena pakar itu (Rudy) juga tidak bisa menjamin relief well secara pasti bisa menghentikan semburan.

Rudi merekomendasikan metode relief well yang diduga menelan hingga Rp700 miliar dalam sebuah pertemuan di Sidoarjo bersama, a.l. Salahuddin Wahid yang juga Ketua Gerakan Menutup Lumpur Lapindo /GMLL).
Sementara itu, Doddy Nawangsidi, ahli geologi ITB lainnya, berpendapat upaya menutup semburan harus didasarkan pada analisa yang tepat tentang fenomena semburan lumpur di Sidoarjo dimaksud.

Berbahaya

Menurut Doddy, upaya menutup semburan yang didasarkan pada asumsi spekulasi bisa membahayakan publik. Selain memakan waktu dan biaya yang mahal, dengan hasil yang masih tanda-tanya.
Sementara itu, praktisi pemboran Edi Sutriono yang juga Vice President Drilling Lapindo, menilai hipotesa yang disampaikan Rudi Rubiandini bahwa semburan lumpur merupakan underground blow out didasarkan pada data yang kurang faktual.


Dia memaparkan dua dari empat variabel (elemen) yang digunakan Rudi dalam rumus persamaan untuk mengukur tekanan di dalam sumur adalah harga (angka) yang salah, yaitu angka shut in casing pressure (SICP) sebesar 1.054 psi, padahal seharusnya 450 psi seperti yang terukur di ruang pengebor (drilling console) dan harga berat fluida di dalam sumur sebesar 14,7 ppg yang seharusnya 8,9 ppg seperti yang diukur dari fluida yang keluar setelah BOP ditutup.


Menurut dia, jika diukur dengan harga tekanan SICP dan berat fluida yang benar seperti standar resmi International Association of Drilling Contractor (IADC) tersebut, maka underground blow out itu terbukti tidak mungkin terjadi di Banjarpanji-1.


“Ini kesalahan fatal Pak Rudi, meski kami bisa memaklumi karena beliau memang seorang dosen, bukan praktisi pemboran.”


Geolog dari Italia, Adriano Mazzini, peneliti tentang dynamics of mud volcanism and seepage features di Oslo University)—satu dari sedikit geolog dunia yang banyak melakukan penelitian tentang mud volcano--menegaskan semburan lumpur Sidoarjo adalah fenomena alam mud volcano.


Kawasan tempat terjadinya semburan lumpur tersebut secara alamiah memang telah siap melahirkan mud volcano sejak waktu yang sangat lama. “Orang cenderung melihat gempa sebagai penyebab semburan lumpur Sidoarjo secara hitam-putih, padahal bumi tidak bekerja sesederhana itu. Tidak ada bukti yang bisa digunakan untuk mengatakan bahwa semburan bersumber atau dipicu oleh pemboran Banjarpanji-1 milik Lapindo. Dimensi subsurface [bawah tanah] bekerja dengan cara yang kompleks.”


Yuniwati Teryana, Vice President Lapindo Brantas Inc., mengatakan Lapindo telah melakukan respons cepat sejak hari pertama terjadinya semburan lumpur tanpa mempedulikan apa sebenarnya penyebab semburan.


Menurut dia, apapun hasil dan kesimpulan para ahli dalam seminar yang telah menghadirkan pihak yang pro dan kontra tentang fenomena semburan lumpur Sidoarjo, Lapindo akan tetap komit untuk memenuhi amanah Perpres No. 14/2007. Hingga Januari 2008, Lapindo telah mengeluarkan biaya sendiri sekitar Rp2,94 triliun. Diproyeksikan, biaya yang akan dikeluarkan Lapindo untuk menuntaskan amanat Perpres No. 14 2007 adalah sebesar Rp5,6 triliun. (cak item)

Dimuat:
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: