Kamis, 20 Maret 2008

REI Jatim, paradigma kepengurusan

1972 - 2008
Dinamika dan gerak aktivitas REI Jatim sejak 1972 - 2008 sangat bergantung dari situasi ekonomi makro nasional yang sedang berlangsung pada masing-masing periode kepengrusan, dan kemampuan ekonomi masyarakat dalam membeli perumahan. Maka itu program masing -masing periode kepengurusan sangat variatif sejak 1972 – 2006. Dalam perjalanan itu ada moment-moment penting yang menjadikan DPD REI Jatim berkembang seperti sekarang.

Pada periode 1972 – 1975, misalnya, dimana ekonomi masyarakat masih belum sebaik sekarang, maka bisnis perumahan (real-estate) yang banyak dikerjakan oleh anggota REI Jatim adalah perumahan kelas menengah-mewah. Saat itu periode kepengrusan REI Jatim (masih berstatus Komisariat) diketuai oleh RPS Prataningrat. Anggotanya masih sangat sedikit, dan sekretariatan berjalan apa adanya. Maka itu periode ini kemudian disebut sebagai Era Awal Organisasi (REI). Pada era ini masyarakat masih asing dengan istilah realestate. Membangun rumah mewah secara massal dan terpisah dari lingkungan permukiman tradisional yang sudah mapan, sesuatu hal yang sangat baru saat itu.

Pada periode 1975 – 1977 paradigma aktivitas bisnis anggota REI Jatim masih belum bergeser. Namun ada sedikit perubahan pada jenis rumah yang dibangun. Tepatnya sejak 1976 sudah ada rumah-rumah sederhana yang dibangun, namun jumlahnya masih sangat sedikit. Kepengurusan REI Jatim yang saat itu diketuai oleh Adnan Djoefri. Sebenarnya, ketika itu juga ada beberapa developer yang concern terhadap pembangunan perumahan khusus untuk masayarakat menengah-bawah.
Namun para developer ini masih enggan bergabung dengan REI Jatim. Mereka membentuk kelompok sendiri bernama ADI (Asosiasi Developer Indonesia). Namun pada periode kepengurusan ini ada catatan yang menggembirakan bagi industri realestate, dimana perbankan mulai melirik sektor usaha realestat untuk dibiaya, baik untuk investasi, pembebasan lahan, konstruksi, dan pembiayaan bagi kepemilikan pembelian rumah (KPR).

Pada kepengrusan berikutnya, yakni periode 1977 – 1980, yang ketuanya tetap dijabat Adnan Djoefri, aktivitas REI Jatim mulai agak serius membangun perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.Hal itu bisa dilihat dari data REI Jatim, yakni jika pada 1977 hanya 91 unit RS yang dibangun, maka pada 1978 naik menjadi 115 unit, 1979 jadi 236 unit, dan pada 1980 naik lagi menjadi 678 unit. Persepsi masyarakat terhadap REI pun sedikit berubah. Maka itu kepengurusan Adnan Djoefri dalam dua periode itu kemudian disebut sebagai Era Pertumbuhan.

Pada kepengurusan berikutnya, yakni periode 1980 – 1983 dimana ketuanya dijabat Asmoro Prasetyo, perhatian REI Jatim terhadap perumahan sederhana semakin besar. Terlebih saat itu Bank Tabungan Negara (BTN) secara khusus menyiapkan dana kepemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pada kepengurusan ini REI Jatim lantas menggenjot pembangunan rumah sederhana hingga mencapai ribuan unit. Hal ini bisa dilihat dari data REI Jatim, yakni pada 1981 tercatat 1.709 unit rumah sederhana (RS) yang dibangun. Kemudian naik menjadi 2.395 unit (Th1982), dan naik menjadi 4.014 unit pada Th1983. Berkat dukungan BTN dan aktifnya anggota REI Jatim membangun RS saat itu, maka periode kepengrusan ini lantas disebut sebagai Era Perkembangan.

Periode selanjutnya, yakni periode 1984 –1987, oleh kalangan pengembang periode itu disebutnya sebagai Era Pemantapan. Ketuanya dijabat oleh H. Suratman. Karena pada periode ini terjadinya penggabungan anra REI Jatim dengan ADI (Asosiasi Developer Indonesia). Penggabungan REI dan ADI ini berkat anjuran Menteri Perumahan Rakyat (saat itu) Cosmas Batubara, yang juga Ketua Pembina DPP REI. Dari momentum itulah kemudian REI Jatim dan ADI bergabung menjadi satu DPD REI Jatim (namun saat itu namanya masih Komisariat REI Jatim).
Dari hasil Musyawarah Daerah (Musda) REI Jatim pada 14 – 15 Januari 1985 di Hotel Hyatt Surabaya, maka terpilihlah H. Suratman (mantan Ketua ADI) sebagai Ketua REI Komisariat Jatim Periode 1984 – 1987. Periode ini sangat tepat jika disebut sebagai Era Pemantapan. Karena pada periode ini kemudian ada bidang-bidang baru pada tubuh REI Jatim, seperti Bidang Pertokoan, Perkantoran, Perumahan Sederhana, Perumahan Mewah. Bahkan ada litbang dan pelatihan. Jumlah pengurusnya pun cukup banyak. Sedangkan jumlah rumah yang dibangun semakin besar, yakni sebanyak 29.552 unit—terdiri dari rumah sederhana, menengah, dan mewah.

Periode 1987 – 1990, kepengurusan REI Jatim dijabat oleh Iskak Syafi’i. Pada masa ini REI Jatim banyak melakukan kegiatan dan mulai dikenal oleh masyarakat luas. Hubungan dengan Pemerintah Kota Surabaya pun cukup baik. Terlebih dengan Pemerintah provinsi yang Gubernurnya saat itu dijabat oleh Letjen (Purn) Soelarso. Pada periode ini DPD REI Jatim mulai menggalakkan Program Kemitraan, baik kemitraan REI Jatim dengan lembaga-lemabaga terkait dalam kerangka memajukan bisnis anggota, maupun kemitraan antara pengembang anggota REI Jatim. Maka itu periode kepengurusan ini kemudian disebutnya sebagai Era Kemitraan.Pada masa kepengurusan ini ada juga yang istimewa, yakni kebijakan pemerintah mengenai desentralisasi perizinan (izin lokasi) untuk 15 ha bisa dikeluarkan oleh Bupati/Walikota, di bawah 200 ha oleh Gubernur, dan 200 ha ke atas tetap persetujuan Menteri. Hampir bersamaan dengan itu juga terjadi peningkatan status Ditjen Agraria menjadi Badan Pertanahan nasional. Sehingga pengembang bisa lebih mudah dalam pengurusan perizinan.

Periode 1990 – 19993 kepengurusan DPD REI Jatim diketuai oleh H. Sugiat. Pada masa kepengurusan ini munculnya kebijakan pemerintah mengenai pembangunan rumah sangat sederhana (RSS) untuk menjawab kebutuhan masyarakat berpenghasilan rehdah. Namun keengganan pengembang besar membangun RSS kala itu cukup terasa karena marjin keuntungannya sangat kecil, sementara repot- pekerjaannya sama saja.
Tapi DPD REI Jatim terus mendorong anggota untuk meningkatkan jumlah pembangunan RSS. Bukan hanya itu, DPD REI Jatim bersama DPP REI, saat itu juga mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar membangun RSS setengah diwajibkan kepada pengembang. Hasilnya, Pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan konsep hunian berimbang 1; 3 ; 6 (1 mewah; 3 menengah; 6 RSS/RS).
Hampir bersamaan dengan itu, Gubernur Soelarso menganjurkan kepada para pengembang besar di Jatim agar dalam membangun proyek perumahan mewah berskala luas—dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan pengembang kecil dalam bentuk Konsorsium. Agar pengembang kecil juga ikut memiliki proyek-proyek besar. Maka itu periode kepengrusan ini lantas disebut sebagai Era Konsorsium.

Periode 1993 –1996 kepengrusan DPD REI Jatim diketuai oleh A. Maman Chamid. Periode ini disebut sebagai Era Produktivitas. Karena selama kepengurusan ini jumlah rumah yang berhasil dibangun oleh anggota DPD REI Jatim mencapai angka tertinggi, yakni 51.021 unit.Selain tetap menjalankan program-program lain, pada masa kepemimpinan Manan Chamid ini DPD REI Jatim masih tetap menggalakkan program kemitraan antara pengembang besar—khususnya dari Jakarta dengan pengembang kecil di daerah. Hasilnya pembangunan RS/RSS jumlahnya menjadi menggelembung.
Pada masa kepengurusan ini juga ada yang menarik, yakni diubahnya nama-nama asing pada proyek perumahan dengan bahasa Indonesia. Perubahan ini didorong oleh kebanggaan budaya dan nasionalisme yang tinggi. Hasilnya, sejumlah perumahan yang terlanjur diberi nama asing diubah menjadi nama lokal. Misalnya Citraland City menjadi CitraRaya, atau Grande Gamily menjadi Graha Famili, dan lainnya.

Periode 1996 – 1999, saat itu kepengurusan DPD REI Jatim dipimpin oleh HM Ridwan Hisyam. Masa kepengurusan ini sering disebut sebagai Era Penghargaan. Karena sederet penghargaan terhadap DPD REI Jatim maupun secara langsung kepada anggotan sering diterima pada masa kepengurusan ini. Namun penghargaan itu juga dikarenakan hasil kerja kepengurusan yang sebelumnya, dimana waktu itu HM Ridwan Hisyam menjabat sebagai Sekretaris. Misalnya penghargaan untuk jumlah pembangunan RS/RSS oleh Presiden RI Soeharto yang diterima HM Ridwan Hisyam di Istana Negara.
Periode ini termasuk masa sulit bagi pengembang anggota REI Jatim, khususnya memasuki Th 1997 dimana republik ini dilanda gonjang-ganjing politik dan krisis moneter secara berkepanjangan hingga lima tahun ke depan. Dampaknya bisa diduga, yakni sedikit pengembang yang terpaksa istirahat berusaha karena terbentur masalah kredit macet dan berurusan dengan BPPN. Selain itu daya beli masyarakat juga rendah akibat krisis moneter.

Periode 1999 – 2002, DPD REI Jatim diketuai oleh Gatut Prasetyo. Masa ini masih masa duka para pengembang anggota REI Jatim, karena masih diselimuti suasana ekonomi yang carut-marut akibat krisis moneter sejak Th1997. Tidak sedikit anggota REI Jatim yang hasrus berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena belum selesainya restrukturisasi utang mereka pasca krisis.
Dari fakta inilah kemudian DPD REI Jatim berinisiatif membentuk Tim Restrukturisasi Utang Pengembang. Sedikitnya tercatat 17 pengembang yang restrukturisasinya diadvokasi oleh Tim bentukan DPD REI Jatim. Mereka terdiri dari 9 pengembang besar, dan 8 pengembang skala menengah-kecil.
Hasilnya, para pengembang pasien DPD REI Jatim itu menemukan kompromi yang baik dengan BPPN. Penyelesaian dilakukan secara win-win solution. Pada tahun-tahun berikutnya, yakni di atas Th 2000 hingga 2002 kondisi ekonomi mulai membaik meski secara politik masih gonjang-ganjing akibat pergantian kepemimpinan nasional (pemerintahan) berulangkali. Pada masa recovery inilah kemudian pengurus DPD REI Jatim yang sekretarisnya saat itu dijabat oleh Muhammad Rudiansyah, mencoba melakukan introspeksi diri atas perjalanan bisnis anggota selama ini.
Dari situlah kemudian muncul gagasan untuk meningkatkan profesionalisme anggota, dan kegiatan pertamanya dilakukan pelatihan dan sertifikasi tanah milik pengembang. Program sertifikasi tanah itu pun banyak dirasakan manfaatnya oleh anggota, terutama dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bisnis realestat. Maka itu periode kepengurusan ini kemudian dinamai sebagai Era Profesionalisme.

Periode 2002 – 2005 kepengurusan DPD REI Jatim dikomandani oleh Teguh Kinarto. Pada masa ini kondisi ekonomi makro sudah mulai recover, ditandai oleh naiknya pertumbuhan ekonomi nasional secara terus-menerus selama tiga tahun (2002 – 2004), yakni 4,2% (Th2002), 4,8% (Th2003) dan 5,1% (Th2004). Sementara Jawa Timur mengalami pertumbuhan 3,411% (Th2002), 4,11% (Th2003) dan 5,85% (Th2004). Pergerakan investasi nasional ataupun Jawa Timur pun terus membaik, baik PMA maupun PMDN.
Maka itu pada periode kepengurusan ini gerak langkah bisnis properti, termasuk juga sektor perumahan, menggeliat kuat sekali. Bersamaan dengan itu DPD REI Jatim tetap menggalakkan program-program pengembangan untuk profesionalisme anggotanya.Anggota REI Jatim Bidang Pertokoan & Ritel pada masa ini boleh dikata sebagai masa panen. Karena pasar properti ritel baik mall/plaza, trade-centre dan ruko, mengalami perkembangan yang cukup bombastis. Total luas ruang (space) proyek-proyek properti komersial (ruko, plaza/mall, trade centre, perkantoran) pada masa itu diduga mencapai 1.800.000m2. Demikian juga pada sektor perumahan (realestat).
Pada masa kepengurusan ini (Th2002 - Th2004) anggota REI Jatim berhasil menjual 31.206 unit rumah baru. Jika harga per unit rumah rata-rata Rp40 juta, maka omset bisnis anggota REI Jatim pada masa itu mencapai Rp1,24 triliun. Jenis rumah menengah-bawah masih mengusai penjualan sektor perumahan pada periode tersebut. Maka itu masa ini disebut sebagai Era Kebangkitan.

Berikutnyaperiode 2005 - 2008, dimana Ketua Umum REI Jatim dijabat oleh Sutoto Yakobus. Pada masa ini bisa disebut ekonomi makro nasional sedang mengalami shock, khususnya sejak Oktober 2005 setelah pemerintah menaikkan harga BBM hingga 100% lebih. Hampir semua sektor usuaha mengeluhkan kondisi bisnisnya, tidak terkecuali perusahaan pengembang. Namun semangat developer melalui REI tetap berkobar, dan terus membangun rumah dengan anka tipenya. Pada masa ini PLN juga sedang mengalami krisis, sehingga tidak sedikit komplek perumahan yang sudah jadi tapi belum teraliri listrik.
Maka itu REI Jatim lantas membuat kesepakatan (MoU) dengan PLN Jatim soal kepastian pasok setruk ke sektor perumahan. Maka itu masa ini lantas lebih tepat disebut sebagai Era Konsolidasi. (cak item)

Tidak ada komentar: