Senin, 14 April 2008

Quo Vadis JIM ?


Penerapan Otonomi Daerah mau-tidak mau telah memaksa para pimpinan Pemerintahan di daerah melakukan kreasi untuk memperbanyak investasi masuk ke wilayahnya. Dalam konteks ini PemProv Jawa Timur patut diacungi jempol. Pemda ini tidak sekedar melakukan pendekatan normatif, seperti menikatkan keamanan, mengendorkan regulasi, atau mempermudah perizinan. Namun, lebih dari itu, juga mendirikan sebuah lembaga pengerah investasi, namanya PT Jatim Investment Managament (JIM). Semacam perusahaan pengelola investasi, berstatus BUMD dan pendiriannya berdasarkan Perda pada Tahun 2004.

Badan itu (JIM) bertugas ‘memburu ‘ dana investasi asing maupun lokal untuk dikelola sebagai investasi, baik langsung (direct invesment) maupun tidak langsung (indirect invesment). Namun tugas pokoknya, memang, lebih mengedepankan pengelolaan dana untuk investasi infrastruktur.

Pada tubuh JIM juga ada Komite Investasi (mungkin semacam komisaris) dan orang-orangnya kebetulan cukup punya nama, a.l. Erlangga Satriagung (Ketua Kadin Jatim), Dahlan Iskan (CEO Grup Jawa Pos & Dirut PT Wira Jatim), mantan dirut Semen Gresik Oerip Timuryono, Dirut Bank Jatim Agus Sulaksono, dan Mustofa dari kantor akuntan publik HTM.

Arah Perjalanan JIMPertanyaannya, sejauh-manakah kemampuan JIM mengerahkan dana investasi, khususnya dana asing. Sebagai lembaga baru di bidang fund managament, terlebih lagi berstatus BUMD, apakah cukup memiliki kemampuan untuk meyakinkan investor, khususnya investor asing. Di sini Pemda Jatim harus ekstra ketat mengarahkan JIM. Jangan membiarkan lembaga itu hanya sekedar menjadi semacam trading galery untuk reksadana atau obligasi. JIM harus berbeda dengan perusahaan sekuritas lain. Karena dasar pendiriannya adalah untuk penggerak investasi sektor riil dalam membantu Pemda, khususnya sektor infrstruktur untuk kepentingan publik dimana Pemprov tidak memiliki biaya untuk pembangunannya.

Kalau keberadaan JIM hanya untuk berdagang reksadana, ngapain pendiriannya harus berdasarkan Perda yang nota-bene pengesahannya harus melalui jalan berliku di DPRD dan memakan waktu panjang. Lagi pula ngapain Pemprov bikin BUMD 'penjual reksadana' jika tidak memiliki manfaat langsung bagi warga masyarakat.

Senyampang belum terlalu jauh, perlu dilakukan re-orientasi arah perjalanan JIM. DPRD harus kritis, dan mempertanyakan existensi JIM bagi kepentingan warga. Bagaimanapun pendirian JIM adalah disahkan oleh Dewan. Jangan karena statusnya yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) lantas tidak bisa disentuh oleh Dewan.

Sudah beberapa tahun JIM berdiri, namun masih banyak proyek infrstruktur di jatim yang tidak jalan akibat terbatasnya pendanaan. Padahal di sinilah pentingnya JIM dibentuk. JIM idealnya mengupayakan penerbitan obligasi oleh Pemprov (municipal bond) untuk pembiayaan proyek-proyek strategis daerah. Bukan seperti sekarang, sekedar berjulan reksadana dan saham.


Bahkan JIM hanya lebih sibuk mengurus anak perusahaan yang bergerak di sektor penyewaan tanki minyak (BBM solar industri). JIM harusnya tidak lepas dari tujuan dasar pembentukannya, yakni memobilisir dana besar untuk kepentingan investasi dan penyediaan infrastruktur di Jatim.


Maka itu JIM perlu bersinergi dengan perusahaan-perusahaan fund managament asing yang sudah memiliki nama secara internasional. Mengingat JIM masih baru, modalnya masih kecil, statusnya BUMD. Sehingga tidak mudah membangun jaringan bisnis investasi secara internasional.

Dalam konteks ini, penulis pernah mencoba membawa PT Nikko Sekuritas (patungan lokal-Jepang) ke Gubernur Imam Utomo, untuk dijajagi kemungkinan kerjasama Nikko dengan JIM (menjelang kelahiran JIM). Tidak tanggung-tanggung, semua direksi Nikko Securitas ikut saat itu (termasuk Hariyanto dan Adler Manurung) saat diterima Gubernur.

Gubernur saat itu didampingi Ketua Kadin Jatim Erlangga Satriagung dan sejumlah kepala Biro dan kepala Dinas, termasuk Kepala Bapeprov Hadi Prasojo.

Gubernur telah memerintahkan kepada jajarannya untuk menindak-lanjuti pertemuan tersebut. Namun, sejauh ini (sudah tua tahun lebih) tidak ada follow up atas pertemuan itu. (cak item)

Suramadu, bukan sekedar jembatan



Dari aspek teknis, mega proyek Jembatan Suramadu (Surabaya – Madura) sepanjang 5,4 Km bukanlah pekerjaan yang sederhana. Pemerintah Jepang pun butuh waktu panjang saat merealisasi Jembatan yang menghubungkan Kota Osaka dengan Bandara Kansai, di atas laut sepanjang 5,6 Km.


Dari aspek pendanaan, mega proyek jembatan ini juga tidak tergolong beruntung.Karena ketika proyek sudah dimulai, bahkan sudah pengerjaan konstruksi bentang tengah, secara kebetulan kondisi keuangan negara sedang berat, menyusul tingginya inflasi pasca naiknya harga BBM akibat sempat tingginya harga menyak-mentah dunia hingga di atas US$70/barel. Dan itu sangat mempengaruhi APBN, karena di APBN harga minyak mentah hanya dipatok US$50/barel dan US$55/barel.



Dari aspek politik, nasib jembatan itu juga tidak baik, karena keberadaan proyek itu sempat ‘dimanfaatkan’ oleh rezin Presiden Mewgawatie Soekarnoputrie untuk menarik simpati warga Jatim, khususnya masyarakat Madura. Begitu rezim pemerintahan berganti, nasib proyek ini terkesan hanya dipandang sebelah mata.


Disetujuinya pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak ke Teluk Lamong, meski hanya disetujui 60 hektare dari rencana 300 ha lebih, juga tidak memperkuat posisi Jembatan Suramadu. Karena jika pengembangan pelabuhan itu sepenuhnya di Bangkalan, Madura, maka existensi jembatan akan semakin strategis.


Terkait dengan itu semua investor (asal China) yang mendanai sebagian proyek sempati ragu, karena dana pengembalian investasi dari jembatan yang rencananya akan dikomersialkan (jebatan tol) itu bisa terganggu jika volume kendaraan yang lewat jembatan hanya sedikit.


Jembatan Suramadu, jika hanya didekati dengan pertimbangan investasi untung-rugi, tentu bukanlah sektor yang menguntungkan. Tapi jika dilihat dari kepentingan pengembangan Madura ke depan, maka keberadaan jembatan itu menjadi sangat strategis. Maka itu pendanaan proyek hendaknya tidak menggantungkan dana investor, tapi anggarkan seluruhnya dari APBN dan APBD. Jadikan Suramadu sebagai proyek ideologis, bukan investatif. Jadikan Suramadu sebagai Jembatan Budaya.


Gambaran ProyekJembatan Suramadu diperkirakan menelan biaya Rp. 2,83 Triliau. Rinciannya, biaya konstruksi Rp. 2,38 Triliun, biaya pembebasan tanah dan jalan pendekat Rp. 450 Miliar. Sumber dana berasal dari APBN, APBD, dan pinjaman dan investasi asing (China).


Panjang jembatan 5.438 meter, dengan lebar 2 x 15 meter (total 30 meter). Untuk kendaraan dibagi dua lajur, masing-masing lajur 2 x 3,5 meter. Untuk lajur lambat/darurat 2 x 2,25 meter. Lajur untuk kendaraan roda dua 2 x 2,75 meter. Kelandaian maksimum 3%, jalan pendekat sisi Surabaya 4,35 Km, sedangkan Jalan pendekat Sisi Madura 11,50 Km.


Jelang Pilpres 2009


Kini, jembatan Suramdu kembali menjadi perhatian pemerintah. Mega proyek ini kembali dikebut. Meski progress project baru 75%, namun sudah berani dijadwalkan beroperasi akhir 2008. Tentu 'kebut-kebutan' pengerjaan mega proyek ini tidak terlepas dari kepentingan politik 2009.


Dari aspek budaya, keberadaan jembatan ini sangat penting bagi warga Madura. Sehingga sangat mungkin penyelesaian mega proyek sebelum 2009 ini akan mendapat simpati besar dari warga, sehingga muara politiknya sangat mudah ditebak.


Dari aspek ekonomi-bisnis, keberadaan jembatan ini akan memajukan Madura dan Jatim secara umum, karena mobilisasi investasi di sektor industri akan difokuskan ke daerah Bangkalan. Selain di situ juga akan dibangun pelabuhan berskala internasional. Tapi fakto-faktor pendukung secara psikologikal terhadap proyek phisik itu nampaknya belum digarap serius. Misalnya kesiapan SDM Madura menghadapi industrialisasi. Siapa yang bertanggung-jawab terhadap aspek ini??? (cak item)


Dubai Ports masuk TPS


Dubai Ports masuk TPSDubai Ports World Co. (DPW) Maret 2006 telah membeli seluruh saham (49%) milik Paninsular and Oriental Steam Navigation Company (P&O) di PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Sementara 51% saham lainnya tetap dimiliki PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III.

Sekilas take over saham itu adalah peristiwa bisnis biasa, yang tidak memiliki arti apapun bagi Surabaya (Jawa Timur). Karena take over saham itu tidak mengubah komposisi apapun dalam struktur kepemilikan TPS, dan mayoritas saham terminal barang itu masih dimiliki negara (Pelindo III).

Tapi, pertanyaannya, kenapa Dubai Port berani membeli saham TPS, meski secara bisnis terminal petikemas itu tidak termasuk sektor usaha yang istimewa. Di sinilah pentingnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) jeli. Apakah dibalik traksaksi itu ada hiddden agenda besar yang tengah diskenariokan Dubai Port.Perpindahan kepemilkan saham di TPS itu bisa saja ditafsirkan sebagai bentuk kepercayaan Dubai (yang kini memiliki peran ekonomi strategis dunia) terhadap iklim usaha di Jatim.

Pemprov sebaiknya mengucapkan SELAMAT DATANG kepada 'Tuan Dubai' atas berkenan masuk Surabaya melalui TPS. Ucapkan terima-kasih atas kepercayaan tersebut, dan segera rancang penawaran investasi lainnya yang mungkin bisa digarap Dubai.

Peristiwa bisnis ini hampir mirip masuknya Philip Moris ke PT HM Sampoerna, salah satu diva pabrik rokok di Indonesia yang berlokasi di Surabaya. Ada baiknya Gubernur mengucapkan SELAMAT-DATANG kepada 'Tuan Philip Moris' yang telah berkenan masuk Surabaya melalui PT. HM Sampoerna.

Memang masuknya Philip Moris ke HM Sampoerna secara ekonomi tidak memiliki pengaruh langsung bagi Jatim. Karena investasi itu hanya transaksi kepemilikan. Sementara pabrik rokoknya sudah dulu ada, dan tidak akan ditambah dengan masuknya 'Tuan Philip Moris'.
Tapi jangan lupa. Perkenan masuk ke Surabaya saja sudah akan bisa mengubah kepercayaan asing terhadap iklim investasi di Surabaya (Jatim). Transaksi saham senilai Rp16,5 triliun itu adalah peristiwa yang dahsyat yang pernah terjadi bagi kepemilikan bisnis di Surabaya.


Seiring dengan itu, harusnya ditawarkan juga sederet potensi bisnis yang bisa 'dimainkan' oleh investor asing (Dubai dan AS) tersebut.Masih banyak sektor strategis yang bisa digarap di Jatim. Misalnya proyek infrastruktur (tol, bandara perintis, kelistrikan, proyek air bersih). Atau sektor manufaktur seperti pupuk, farmasi, semen, atau sektor pertambangan migas, dan sektor pariwisata. (cak item)

Kontroversi proyek Teluk Lamong

Sejak ratusan tahun Kota Surabaya sudah dikenal sebagai pintu utama bagi kegiatan ekonomi-bisnis Jawa Timur. Bahkan juga bagi Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Hampir semua perusahaan ekspor-impor di KTI rata-rata membuka kantor cabang di kota ini (Surabaya) guna memudahkan urusan bisnisnya.Posisi Surabaya (secara geografis) yang strategis itu telah menjadikan pertumbuhan bisnis di kota yang sudah berumur 700 tahun itu maju pesat, khususnya sektor industri dan manufaktur.



Hampir semua industri, mulai dari industri berat hingga aneka industri dengan ribuan (varian) produk ada di kota ini.Bahkan perkembangan industri di Surabaya telah merembet ke kota-kota satelit yang mengitarinya, seperti Gresik, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Mojokerto dan Sidoarjo.
Sedikitnya terdapat 12 kawasan industri (KI) dengan skala ribuan hektar di kawasan tersebut (Surabaya dan sekitarnya). Belum termasuk puluhan lokasi industrial estate (bukan anggota HKI) dengan areal jauh lebih luas dari 12 KI yang ada.Tak pelak pertumbuhan jasa pengapalan dan lalu lintas barang—yang hanya mengandalkan Pelabuhan Tanjung Perak—ikut tumbuh pesat.



Hanya saja fasilitas yang dimiliki oleh pelabuhan itu (Tanjung Perak) relatif terbatas. Kare
na selain industri di sekitar Surabaya yang mamakai fasilitas tersebut, juga aktivitas perdagangan antar pulau di KTI.Kondisi inilah yang menjadikan Pemkot Surabaya ‘resah’. Khawatir kegiatan investasi di masa depan menjadi terganggu, jika tidak segera diikuti pertumbuhan fasilitas kepelabuhanan dengan kapasitas yang memadai.



Berdasarkan data PT Pelindo III Kantor Cabang Tanjung Perak, kapasitas Terminal Petikemas Surabaya (TPS) yang ada di pelabuhan itu hanya 1,7 juta TEU’s (twenty foot equivalent units). Sementara aktivitas pemakaian saat ini sudah mendekati angka 75% dari kapasitas yang tersedia. Diduga pada akhir 2005 dan awal 2006 pemakaian TPS sudah mencapai 75% lebih. Sehingga pengembangan Tanjung perak sudah sangat mendesak.


TELUK LAMONG



Teluk Lamong adalah pilihan lokasi paling tepat. Rencananya akan dibangun di tengah laut—sekitar 2 km dari bibir pantai teluk tersebut (bukan di muara Sungai Kali lamong). Lokasi proyek berbasis reklamasi itu nantinya akan dihubungkan dengan jembatan (1,5 km – 2 km) yang berbasis di pantai Tambak Osowilangun.



Pada tahap awal akan dibangun seluas 60 ha dengan kapasitas terminal petikemas 1 juta TEU’s. Sehingga total TPS Tanjung Perak dan Teluk Lamong menjadi 2,7 juta TEU’s.Jika proyek ini segera terwujud, maka adalah satu-satunya di Indonesia pelabuhan laut yang berada di tengah laut. Persis seperti pelabuhan udara Kansai, Osaka-Jepang yang dihubungan dengan jembatan 5,6 km.



Karena lebarnya jarak antara pantai dan lokasi proyek yakni antara 1,5 km - 2 km, maka Pelabuhan Teluk Lamong nantinya tidak memerlukan bangunan break water sehingga tidak akan terjadi back water atas aliran air dari Sungai Kali Lamong. Dengan luasan jarak darat ke lokasi proyek maka aliran air dari Sungai Kali Lamong akan masuk ke laut seluruhnya.



Pada grand master plan proyek, sebenarnya rencana Pelabuhan Teluk Lamong seluas 386,12 ha senilai Rp6 triliun. Namun karena kebutuhan pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak sangat mendesak, maka prioritas yang akan dibangun hanya 60 ha terlebih dahulu senilai Rp3 triliun.

Urgensi pengembangan Tanjung Perak (ke Teluk Lamong) juga terkait dengan klausul kontrak antara Pelindo III dengan P&O Australia Pty.Ltd (kini dibeli Dubai Port Inc) yang memiliki share 49% atas Terminal Petikemas Surabaya/TPS (share Pelindo III masih 50% dan Kopkar Pelindo III 1%).


Pada perjanjian kontrak masuknya P&O Australia disepakati bahwa setelah pemakaian TPS mencapai 75% dari kapasitas 1,7 juta TeUS, maka pihak Pelindo III berkewajiban melakukan pengembangan Tanjung Perak ke lokasi lain. Sesuai kontrak, P&O Australia Pty.Ltd diberi opsi pertama untuk ambil bagian pada proyek pengembangan di Teluk Lamong.



Namun jika opsi itu tidak diambil, maka pihak Pelindo III akan ‘melempar’ ke pihak lain. Namun, kini P7O telah dibeli seluruh sahamnya di TPS oleh Dubai Port. Kita tunggu komitmen Dubai Port mengembangkan TPS ke depan.



Namun sayang, Pemprov Jatim hanya menyetujui 60 ha saja Pelabuhan dan Terminal Barang Teluk Lamong dibangun. Karena Teluk Lamong dalam RT-RW Provinsi merupakan kawasan penghijauan. Pemprov mengarahkan pengembangan Tanjung Perak itu ke Madura atau Lamongan. (cak item)

Comdev & otonomisasi tambang migas


Perlu wakil daerah di JO Blok CepuPemerintah sebagai pemegang saham terbesar proyek minyak Blok Cepu seharusnya mengintervensi pembentukan struktur operasi bersama (Joint Operation/JO) dengan menempatkan wakil dari daerah sebagai salah satu deputy GM yang dikhususkan membidangi community development (Comdev/CD).



Tulisan ini sama sekali tidak ada keberpihakan dengan pilihan-pilihan keputusan dalam soal Blok Cepu.Tulisan ini juga tidak mengedepankan soal nasionalisme, juga tidak soal profesionalisme. Apalagi membela budget APBN untuk subsidi BBM.



Tulisan ini hanya semata-mata untuk mengingatkan semua pihak terkait, betapa pentingnya persoalan Comdev (CD) dalam proses produksi tambang.Daerah penghasil adalah pihak yang akan merasakan langsung dampak kerusakan lingkungan dari proses maupun pasca eksploitasi sumur minyak Cepu. Maka itu perlu ada wakil daerah dalam struktur JO, agar bisa melakukan kontrol langsung pelaksanaan CD.



Sudah banyak contoh kasus pelaksanaan CD oleh perusahaan pertambangan yang bermasalah dan merugikan daerah penghasil, karena kontrol masyarakat jauh api dari panggang. Bahkan penambang cenderung manipulasi data dan ‘berbohong’ dalam pelaksanaan CD.



Selain itu, penempatan wakil dari daerah dalam struktur JO juga bisa sebagai kontrol langsung terhadap pelaksanaan eksploitasi sumur, sehingga secara transparan daerah bisa mengetahui berapa sebenarnya produksi minyak yang diperoleh dari produksi bersama tersebut.Daerah tidak cukup kalau hanya diberi jatah saham (share/participating interest/PI) dalam proses eksploitasi Blok Cepu.



Lagi pula share (PI) itu tidak gratis, daerah tetap membayarkan dengan dana yang besar. Maka itu wajar jika dalam struktur JO ditambah satu Deputy GM lagi, dan itu diserahkan ke daerah. Daerah jangan hanya disuruh duduk manis seperti raja minyak, tapi tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya.Presiden sebaiknya intervensi masalah ini.Sebagaimana diketahui, JOA (Joint Operation Agreement) proyek minyak Blok Cepu disepakati setelah posisi GM diserahkan ke pihak ExxonMobil dan satu jabatan Deputy GM diberikan ke Pertamina.



Sementara, daerah penghasil (bojonegoro) hanya duduk sebagai penonton, meski dalam board of JOA ada dua orang sebagai perwakilan daerah, namun tidak di struktur. Artinya, tidak terlibat langsung dalam setiap pengambilan keputusan.Memang, masalah CD (Comdev/community development) dari proses eksploitasi sumur minyak Blok Cepu akan menjadi concern pemerintah, mungkin juga Exxon dan Pertamina.



Namun, dari pengalaman yang ada selama ini, pelaksanaan Comdev(CD) pertambangan sering bias dari akar permasalahannya.Misalnya Comdev hanya diterjemahkan secara sempit, yakni hanya membangun lingkungan sekitar lokasi tambang dengan bangunan phisik sekolah, tempat ibadah, puskesmas, dan fasilitas sosial lainnya.Padahal, lebih dari itu, harusnya adalah membangun sebuah sistem pengamanan lokasi secara kuat, sebagai antisipasi kemungkinan retaknya bumi Bojonegoro pasca hancurnya lingkungan akibat pengeboran lapisan gosil minyak dalam struktur tanah.



Jika ada wakil daerah di struktur JOA, harusnya difokuskan pada persoalan pengamanan lokasi sejak dini untuk antisipasi bencana pasca eksploitasi. Dengan adanya pihak daerah yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, kecil kemungkinan terjadinya praktek kebohongan publik terkait pelaksanaan Comdev.



Pemerintah Pusat, Exxon dan Pertamina, adalah tiga pihak yang akan mendapatkan manfaat besar dari Blok Cepu. Sementara pihak daerah, yang nota-bene mendapat bagian terkecil, adalah sebagai pihak yang akan merasakan langsung ‘hancurnya’ lingkungan pasca eksploitasi.Sehingga dari sekarang, masyarakat dan pihak-pihak terkait di Bojonegoro harusnya mengedepankan persoalan ini—sebelum pelaksanaan pengeboran sumur minyak benar-benar diwujudkan.



Ini penting, dan tidak bisa mengharapkan banyak dari pemerintah Pusat dan Pertamina, apalagi dari Exxon yang nota-bene perusahaan asing. (cakitem)

Honda, mobil ramah lingkungan


FOTO: Penulis bersama Takeo Fukui,
President Honda Motor Co., Ltd, di Tokyo

Honda dan teknologi "hijau"Tokyo Motor Show (TMS) yang berlangsung 25 Oktober-5 November 2003 di Makuhari Messe, Chiba, seakan menjadi bukti bahwa produsen mobil dunia sedang berlomba mengkonstruksi teknologi ramah lingkungan. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari keseriusan Honda mempertontonkan komponen Fuel Cell Stack terbaru yang diaplikasi pada mobil FCX.

FCX merupakan mobil “hijau” yang diklaim Honda memiliki tingkat polusi lebih rendah dibanding standar emisi gas buang kendaraan bermotor di Jepang. Bahkan 75% lebih rendah dari standar regulasi akan diberlakukan pertengahan tahun depan.Mobil ini mulai direkayasa Honda pada 1980-an. Sepanjang tahun itu hingga 2001 Honda telah megeluarkan tiga generasi, yakni FCX-V1, FCX-V2 dan FCX-V3.

Untuk FCX-V3 bahkan secara resmi telah digunakan beberapa instansi pemerintah di Amerika Serikat dan Jepang sebagai kendaraan operasional.Fuel Cell Stack terbaru—diberi julukan FC Stack—berfungsi sebagai pemeroses hidrogen yang disalurkan dai tangki hidrogen khusus.
Hasil dari proses itu sendiri digunakan sebagai bahan bakar motor utama penggerak roda depan FCX.
FC Stack memiliki keunggulan teknologi dibanding yang dipakai pada tiga generasi FCX sebelumnya. Dengan bobot lebih ringan (48 kg) dan volume lebih kecil (33 liter)—mampu menghasilkan energi sebesar 50 kW (kilowatt). Dengan bekal tenaga sebesar itulah FCX bisa dipacu hingga kecepatan 150 km/jam. Adapun torsi akhir yang diberikan motor pemggerak utamanya adalah 272 Nm.

Kesuksesan Honda memangkas dimensi dan bobot komponen fuel cell stack berkat digunakannya material baru dan penempatan struktur yang lebih efisien. Selain itu, teknologi kotak fuel cell FC Stack dapat dioperasikan kendati suhu berada di bawah 20 derajat celcius dan cuaca panas di atas 95 derajat celcius.
Dengan kata lain Honda FCX dapat dipakai di wilayah bersalju atau di padang pasir sekalipun.Honda R & D Co., Ltd., perusahaan riset teknologi milik Honda Motor Co., Ltd. telah mendapatkan sertifikat atas teknologi FC Stack dari Kantor Kementrian Transportasi dan Infrstruktur Darat, Jepang.

Sistem fuel cell dan performa Honda FCX rencananya akan diuji kembali di depan publik pada event ke 80 Hakone Ekiden Relay Race Januari 2004 mendatang. Diduga FCX masih akan menjadi primadona mobil berbasis fuel cell—ramah lingkungan—performa tinggi.

Penulis berkesempatan melakukan test-drive FCX berbasis FC Stack saat berkunjung di sirkuit milik Honda R & D Co., Ltd., di daerah Utsunomiya, sekitar 140 km dari Tokyo.

Performa FCX terasa cukup baik pada putara mesin atas dan bawah. Getaran mesin yang dihasilkan sangat halus, dan akselerasi pun cukup spontan.Paling mengesankan adalah di saat kecepatan menurun, secara otomatis ultra capasitor melakukan recovery energi. Bagian kabin dan belakang bodi FCX terbaru tampak lebih longgar dibanding FCX-V3 dikarenakan kotak sistem fuel cell diletakkan secara datar tepat di bagian bawah lantai kabin. (cak item)

REI, mengawali membangun






Dalam usianya yang hampir 50Th, sudah banyak yang dikerjakan oleh DPD REI Jatim dan sangat terasa manfaatnya bagi kehidupan masyarakat. Dalam rentang waktu tersebut, REI Jatim bukan sekedar membantu dalam pemenuhan kebutuhan akan papan, namun juga ikut menggerakkan roda perekonomian, penyerapan tenaga kerja, dan menghidupkan aktivitas industri terkait.Bukan hanya itu.


Keberadaan REI Jatim secara nyata juga ikut membantu dalam penataan dan membangun kota-kota baru (Kabupaten & Kotamadya) melalui pengembangan kawasan yang dilakukan oleh para anggotanya. Dan setiap kawasan yang dibangun selalu diikuti oleh pertumbuhan ekonomi baru.


Contoh, Th 1970-an mungkin masyarakat Surabaya tidak pernah membayangkan Kawasan Surabaya Barat bakal tumbuh-berkembang seperti sekarang. Dan di situ tidak bisa dipungkiri bahwa cikal-bakal kawasan itu dirintis oleh anggota REI Jatim, yakni PT Darmo Permai, PT Darmo Satelite Town, dan PT Pembangunan Darmo Grande yang mendapatkan izin pembebasan lahan seluas 650 ha pada 1972. Mereka membangun perumahan mewah di sana.


Dampaknya, kini siapapun bisa menyaksikan bagaimana maraknya pergerakan ekonomi-bisnis di Kota Baru Surabaya Barat, setelah sejumlah perumahan mewah ikut dibangun di sana – seperti Villa Bukit Emas, Bukit Darmo Golf, Kota Baru CitraRaya, Graha Family, Perumahan Adi Istana, dan Pakuwan Indah. Semua itu dibangun oleh Anggota REI Jatim.


Sejumlah perumahan mewah itu kini sudah integrated, menjadi sebuah kota baru bernama Surabaya Barat. Sejumlah proyek komersial pun ada di sana. Mulai dari hotel berbintang, perkantoran, mall/plaza, apartemen, kondominium, dan puluhan proyek ruko berkelas. Simbol-simbol bisnis utama seperti departemen store, supermarket, food court, café, dan sektor keuangan pun ada di sana. Bahkan sekolah bertaraf internasional pun tersedia. Tumbuh toko-toko di sana, bengkel, klinik, apotik, tempat hiburan, restauran dan lainnya, bahkan rumah sakit.


Surabaya Barat hanya salah satu contoh. Banyak kawasan lain di Surabaya yang tumbuh pesat setelah komplek perumahan dibangun di sana. Misalnya kawasan Manyar dan sekitarnya yang kini tumbuh pesat sebagai kawasan elit. Cikal bakal kawasan itu adalah komplek perumahan Manyar Sindharu yang dibangun oleh PT Sinar Dharma Utama, milik Asmoro Prasetyo, Ketua DPD REI Jatim 1980 – 1983.


Demikian juga pertumbuhan bisnis di Kawasan Kertajaya dan sekitarnya, yang berawal dari keberadaan perumahan mewah yang dibangun oleh PT Sinar Galaxi. Atau juga kawasan bisnis Margorejo yang diawali oleh berdirinya perumahan mewah yang dibangun oleh PT Trijaya Kartika, yakni Margorejo Indah.


Hampir semua kawasan baru yang tumbuh dengan pesat di Surabaya, baik di Surabaya Timur, Surabaya Barat, Surabaya Selatan, Surabaya Tengah, semuanya diawali oleh sebuah permukiman yang dibangun Anggota REI Jatim. Begitu juga di Sidoarjo, Malang, Pasuruan, Jember, Madiun, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Kediri, Tuban, Probolinggo, Bangkalan, dan hampir seluruh kota di Jawa Timur, juga diawali oleh permukiman yang dibangun Anggota REI.


Dari aspek tenaga kerja, sudah puluhan ribu orang yang ikut terlibat dalam proyek-proyek perumahan milik anggota REI Jatim. Mereka semua menghidupi keluarganya, membelanjakan uang hasil kerjanya— yang berarati ikut menggerakkan ekonomi sekitarnya. Dari aspek industri terkait, ada puluhan sektor industri bahan bangunan yang terlibat di dalam pembangunan perumahan milik anggota REI Jatim. Industri-industri itu pun ikut tumbuh. Tenaga kerjanya juga banyak.


Singkat cerita, sudah banyak yang dikerjakan oleh DPD REI Jatim melalui aktivitas bisnis anggotanya. Mereka semua (anggota) ikut membangun provinsi ini. (cak item)